Rabu, 05 Maret 2014

Kutipan



Kamu tak lihat air mataku, tak lihat juga seberapa parah lukaku selama ini. Aku tak pernah berusaha berteriak seperti kamu selalu meneriakiku, tak ingin memaki dengan bahasa Jawa kasar, tak mau melukaimu seperti kamu selalu melukaiku. Sebutkan padaku, Sayang, perempuan mana yang rela berdarah-darah untukmu selain ibumu dan aku? Perempuan mana yang ada bersamamu bahkan dalam sakit dan lemahmu jika bukan ibumu dan aku? Apakah perempuan lain yang selalu kaudatangi dan kaucumbu itu bisa bertahan denganmu bahkan dalam keadaan terburukmu? Apakah perempuan lain yang selalu membuatku harus bersabar lebih banyak lagi ada perempuan yang pantas kaudatangi? 

Kali ini, biarkan hatiku teriris sendiri. Biarkan aku yang terluka parah, biarkan aku yang  menangis diam-diam sekarang. Tapi, lihatlah nanti, Sayang. Suatu saat nanti, air mataku berubah jadi senyum tak berkesudahan. Aku sebenarnya tahu apa yang harus kulakukan, pergi meninggalkanmu, melupakanmu, dan menganggap semua tak pernah terjadi. Namun, sekarang aku masih sabar untuk menghadapimu, aku masih ingin memberimu kesempatan untuk yang ke beribu kali. Jika kesabaranku ini masih ingin kamu sia-siakan, mungkin jalan terbaik memang harus pergi. Karena kamu bukan lagi pria yang kukenal seperti dulu lagi, bukan pria manis yang kucintai karena ketulusan dan keramahannya.

Kini, kamu adalah pria kasar yang tak segan-segan mengeluarkan kata makian, hujatan, dan kata-kata lain yang menusukkan jarum-jarum kecil di hatiku. Kamu berubah jadi pria lain, pria egois yang selalu ingin dimengerti kesibukkannya, dan membiarkan aku menunggu sabar tanpa melawan ataupun membuka suara. Aku tak tahu mengapa perjuanganku hanya kauanggap angin lalu. Apa matamu tak terbuka untuk menyadari siapa perempuan yang selama ini jatuh bangun hanya untuk mencintaimu?

Biarlah waktu yang membuatmu sadar, Sayang. Biarkan aku yang hanya kauanggap angin lalu ini pergi pelan-pelan dari hidupmu. Beri aku kesempatan untuk menghirup udara bebas dan tak lagi menangisi sikap cuekmu selama ini. 

Senin, 03 Maret 2014

Visi & Misi Pendidikan Luar Sekolah

 Visi & Misi Pendidikan Luar Sekolah

Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Yogyakarta



VISI
       Pada tahun 2025 terwujudnya program studi PLS yang unggul di tingkat nasional dalam menghasilkan lulusan Program Studi S1 Pendidikan Luar Sekolah yang mampu membelajarkan diri, memberdayakan masyarakat, dan berwirausaha sosial berdasarkan ketakwaan, kemandirian, kecendekiaan dan berwawasan kebangsaan.  

MISI
  1. Mengambarkan dan mengembangkan paragidma pendidikan nasional abad XXI dan terapannya bagi Pendidikan Luar Sekolah.
  2. Menyelenggarakan pendidikan akademik berbasis penelitian dalam bidang Pendidikan Luar Sekolah.
  3. Melakukan penelitian pendidikan berorientasi penguatan konsep dan praktik pendidikan : serta mendimenasi dan mempublikasikannya di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
  4. Melaksanakan pelayanan profesional berbasis penelitian ke masyarakat dan berbagai pihak yang membutuhkannya secara berkelanjutan.
  5. Membina program kemahasiswaaan yang kondusif  untuk pelaksanaan akademik dan profesional.
  6. Memperkuat kapasitas dan kelembagaan program studi agar dapat menjalankan misi-misi kelembagaan tridarhma perguruan tinggi secara terpadu.

TUJUAN
  1. Mengembangkan paradigma populis rekonstruktif dan memerapkannya secara konsisten dalam pengembangan prodi Pendidikan Luar Sekolah.
  2. Menghasilkan lulusan sarjana kependidikan yang ahli dan professional dalam bidangnya, taqwa, mandiri, cendekia dan berwawasan kebangsaan.
  3. Menghasilkan penelitian yang berkualitas, bermanfaat bagi pengembangan praktik dan/atau ilmu; dipublikasikan dan didiseminasikan secara nasional dan internasional.
  4. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, keahlian yang dikuasai, sehingga menghasilkan dampak nyata berkelanjutan.
  5. Menghidupkan budaya kampus dengan berbagai program yang mengkondisikan mahasiswa berprestasi dan berwawasan kebangsaan.
 


GALERI


(1) WISUDA LULUSAN 

(2) ORIENTASI JURUSAN MABA 2013 

(3) LAUNCHING PAUD binaan mahasiswa

 (4) HIMA PLS terjun budayakan masyarakat





Sabtu, 01 Maret 2014

Aku Bukan Pilihan

   
            "Kenapa kamu berubah?" tanyaku perlahan, masih menahan langkahnya.
            "Aku tidak pernah berubah, kamu yang berubah! Egois!" Jawabnya begitu saja, ringan. Seakan-akan dia tak menggunakan otaknya untuk memikirkan ucapannya.
            "Kamu tahu kan kalau aku sayang sama kamu?" Aku masih terus bertanya, aku ingin kepastian.
            "Masa bodoh! Kamu sayang sama aku? Aku enggak peduli! Aku bosan dengan tingkahmu yang terlalu berlebihan itu! Kamu selalu menempatkan dirimu sebagai yang utama, kaukira kaupaling sempurna? Pikirkan caramu, Bodoh!" Dia menghempaskan tanganku, aku hanya menunduk, terdiam.
            Aku hanya menatapnya, tapi dia palingkan wajahnya, "Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang terus kamu sakiti?" Air mata tulus mengalir perlahan, menggenang di pelupuk mata, terjun bebas menuju pipiku. Aku benci kondisi seperti ini. Aku benci ketika aku tiba-tiba saja menangis meskipun aku telah berusaha untuk tetap terlihat kuat.
            Dia menatapku dengan getir, tergesa-gesa merogoh-rogoh isi tasnya, selembar tissue kini ada ditangannya, "Aku hanya ingin melindungi perasaanmu, aku tahu aku bukan yang terbaik, aku tahu kaupernah disakiti mantanmu dengan  begitu dalam. Aku bukan wanita yang konsisten. Wanita-wanita di sekitarmu yang lebih dulu kaukenal jauh lebih konsisten daripada aku. Kenapa kaumasih menahanku?"
            Isak tangis yang kutahan tetap tak mau kompromi pada keadaan, "Kemarin, aku berkata seperti itu karena kamu merancau terus, aku benci wanita yang selalu marah-marah dengan alasan yang tak jelas, terlalu childish! Aku marah sama kamu karena aku sayang sama kamu."
            "Lalu? Kaumau apa? Harusnya kamu menyesal karena telah memilih aku! Kalau kautahu ada wanita-wanita yang konsisten yang jauh lebih baik daripada aku, kejarlah! Biarkan aku pergi!" Ucapnya dengan nada tinggi, sambil sesekali menatap kekasih barunya dengan wajah khawatir.
            Aku semakin frustasi dibuatnya, wanita memang selalu pandai memutar-mutar masalah hingga tak jelas lagi inti dari masalah tersebut. Aku menatapnya geram, dengan cepat kuulurkan tanganku, kuraih tubuhnya, kini dia rasakan lenganku menghangatkan tubuhnya, "Salahku, yang terlalu cepat mengambil keputusan. Salahku, yang mengenalmu dengan begitu instan. Menyatakan cinta dengan begitu cepat, padahal kita belum saling mengenal, belum saling tahu. Tapi, kenapa kaubisa begitu menyakitiku? Apakah yang instan selalu membawa kesedihan?"
            Dia memang tak membalas pelukku, tapi dia mematung, aku tahu dia turut larut dalam hangatnya suasana kali itu, hanya pada saat itulah kami bisa berbicara dengan begitu dekat, dengan pelukan lekat, "Kalau sudah seperti ini, siapa yang pantas disalahkan? Tuhan? Ah, kautahu Tuhan memang punya wewenang tertinggi dalam hidupmu dan hidupku, tak pantas kalau aku dan kamu menyalahkan Dia. Cintamu dan cintaku terlalu buta, kita membiarkan diri kita sendiri tertabrak oleh cinta dengan brutalnya. Lalu, cinta berwujud menjadi sesuatu yang dia suka dan kita terjebak! Kalau sudah seperti ini, bagaimana mau terlepas dari jeratannya?"
            Sialan! Wanita yang awalnya kuanggap seperti anak kecil ini ternyata mampu membuatku menangis untuk kedua kalinya, "Tapi, sebodoh-bodohnya cinta, setolol-tololnya cinta, dia tetap terasa nyaman kan?"
            "Iya, nyaman sekali, disatu sisi aku memang senang berada di dekatmu, di sisi yang lain aku tak mampu mengimbangi kesempurnaanmu. Ini jalan terbaik kan? Tidak membiarkan diriku dan dirimu tersiksa dalam suatu hubungan, aku tahu kau pun sebenarnya tersiksa." Jelasnya perlahan, sesekali kurasakan tangannya menyambut pelukku, lalu dia lepaskan lagi, takutkah dia pada kekasihnya?





            Aku menarik nafas, menenangkan diri, sesakit inikah perpisahan? Aku pasti akan sangat merindukannya, "Berjanjilah padaku bahwa kauakan bahagia bersama pilihanmu, meskipun kebahagiaanmu tak lagi membutuhkan sosokku. Percuma mengharapkan kamu yang dulu kembali, kamu berubah menjadi seseorang yang tidak lagi kukenal. Aku memang bukan pilihan."
            "Kamu yang memaksaku berubah."
            "Jadi, sampai disini?"
            "Ya, sampai disini."
            "Kautidak mau merasakan semur daging buatanku?"
            "Tidak, lain kali mungkin."
            "Aku akan merindukanmu."
            "Begitu juga aku."
            "Pergilah."
            "Jaga dirimu baik-baik." Desahnya perlahan, kubiarkan tubuhnya lepas dari pelukanku. Dia melenggang santai menuju pria di sudut sana yang sejak tadi menunggunya. Dia mencium pipi pria itu dengan begitu mesranya, semesra kala dia mencium pipiku. Dia menggandeng pria itu dengan begitu hangatnya, sehangat dia menggendeng tanganku dulu.
            Sementara aku masih mematung menatap kepergiannya, punggungnya telah berlalu, tangisku belum juga reda. Perpisahan memang kadang butuh air mata.



cerita dari Dwitasarii